Bismillah.
Salah satu nikmat agung yang Allah berikan kepada manusia adalah ilmu. Ibnu Sirin rahimahullah -seorang ulama generasi salaf- berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Oleh sebab itu perhatikanlah dari mana/siapa kalian mengambil agama kalian,”
Perhatian kepada ilmu semestinya lebih besar daripada perhatian kepada urusan makanan dan minuman. Karena ilmu adalah kebutuhan hati, sedangkan makanan dan minuman kebutuhan jasmani. Untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat seorang hamba hendaknya selalu memohon hidayah kepada Allah. Selain itu dia harus berusaha mencari ilmu itu dari narasumber yang terpercaya agama dan pemahamannya.
Kita tidak bisa sembarangan memilih guru. Dalam sistem pendidikan masa kini kita mengenal istilah sertifikasi guru; suatu sarana yang diharapkan bisa meingkatkan mutu para pendidik. Guru itu seperti kata orang Jawa; digugu dan ditiru. Diikuti dan diteladani. Dengan demikian sosok guru bukan diperoleh semata-mata dengan kecerdasan. Lebih daripada itu guru harus memiliki rasa kasih sayang dan ruh tarbiyah.
Para ulama yang mendapat predikat rabbani adalah mereka yang mengajarkan kepada manusia ilmu-ilmu yang kecil/dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar/rumit. Sebagaimana bangunan harus dimulai dari pondasinya. Begitu pula pohon harus ditanam dari akarnya. Guru agama Islam tentu wajib memahami aqidah Islam; sebab bagaimana mungkin dia mengajarkan tentang Islam dalam keadaan dia tidak mengerti apa itu asasnya Islam?!
Di sinilah kiranya kita perlu kembali bermuhasabah. Seorang guru adalah manusia yang perlu untuk diingatkan dan diberi nasihat dan masukan. Guru bukanlah sosok yang harus dikultuskan dan para murid harus fanatik kepadanya. Tidakkah kita ingat nasihat Imam Ahmad rahimahullah, “Janganlah kalian taklid kepadaku, atau kepada Malik, dsb. Ambillah dari mana mereka mengambil; yaitu dari dalil.”
Di zaman ini kita sering menjumpai orang-orang yang diangkat sebagai tokoh oleh manusia yang dia berani berbicara dalam agama tanpa bekal ilmu yang memadai. Dia membahas perihal Islam sesuai logika dan perasaannya belaka. Tentu ini merupakan kesalahan berat yang wajib disadari dan ditinggalkan. Padahal Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’ : 36)
Imam Bukhari rahimahullah juga menegaskan bahwa ilmu didahulukan sebelum ucapan dan amalan. Tanpa landasan ilmu yang benar maka seorang akan berbicara dan berbuat kebatilan. Dia mengira mendekatkan diri kepada Allah dengan ucapan dan perbuatannya; tetapi pada hakikatnya dia telah merusak agama dengan pemikiran dan hwa nafsunya. Inilah bahaya yang wajib disadari dan diwaspadai oleh kita semuanya…
Dalam urusan ilmu dunia saja kita selektif dalam memilih guru atau sekolah, lantas bagaimana mungkin dalam urusan agama dan akhirat kita serahkan mimbar khutbah dan kursi guru kepada orang-orang yang tidak jelas aqidah dan manhajnya? Apakah kita lebih mengutamakan kehidupan dunia yang fana di atas urusan akhirat yang kekal abadi…